• Home
  • Thoughts
  • Writing
  • Journey
  • Inspiration
  • Portfolio
Pinterest Instagram Twitter Facebook Email

Naimmah Nur Aini

Jika tidak ada catatan yang tanpa sengaja kujadikan sebagai highlight di Instagram tentang film-film dan serial yang sudah kutonton selama 2020, sepertinya akan lebih banyak lagi memori yang melesat tanpa sempat mampir lebih lama. Memang, bahwa sosial media pun bisa menjadi pengingat momen-momen apa saja yang sudah kita lalui sepanjang tahun, lewat history. Jika screen time di ponsel bisa lebih representatif merekap penggunaan ponsel selama satu tahun, maka dapat dipastikan bahwa waktu-waktu berharga untuk pengembangan diri sudah beralih medium. Kutebak, kemungkinan waktu-waktu yang akan muncul di ponselku adalah Instagram, YouTube, Netflix dan Spotify. Dan jujur untuk medium-medium yang kusebutkan di atas, aku tidak pernah menyesal menghabiskan waktu di sana. 

Aku bisa memastikan, betapa pun asyiknya scrolling untuk memberi makan rasa iri atas kehidupan oranglain di Instagram, tak pernah lebih lama daripada mendengarkan orang-orang yang menyimpan video live-nya tentang banyak hal yang berguna. Meskipun scrolling menjadi begitu menyenangkan, tapi kesadaran diri lumayan cepat mengambil alih dan membisiki, "Mending waktunya dipake buat nonton film daripada scroll Instagram." Dan begitulah siklus-siklus yang terjadi di tahun 2020. Tanpa mengecilkan sama sekali apa yang tengah terjadi di dunia ini, mode introvert-ku sejujurnya senang ketika aku lebih banyak menyendiri selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tapi pun aku sadar bahwa yang paling menikmatinya adalah otak malasku dan dengan tidak adanya pressure yang positif, aku akan stagnan. Dan pressure positif itu selama ini banyak dipantik dari luar yang akhirnya memantikku untuk bergerak. 

Semua orang memiliki milestone dalam keterbatasan yang terjadi di 2020. Dan aku mengirikan orang-orang yang secara sporadis muncul dengan berbagai kemampuannya untuk survive dengan menjadi entrepreneur dadakan. Sungguh menyenangkan dan mengharukan sekali melihat orang-orang yang begitu kreatifnya mencipta sesuatu dan tidak tunduk menyesali situasi yang terjadi tidak hanya pada satu individu, tapi pada setiap individu di seluruh dunia. 

Dan untuk Tuhan yang sedang menunjukkan kuasanya entah atas kesalahan manusia yang mana, atau untuk memberikan peringatan, kuhanya memohon untuk memberikan tempat terbaik bagi orang-orang baik yang pergi karena COVID-19 ini, dan memberikan kekuatan pada keluarga yang ditinggalkannya. Dan memberikan kekuatan serta mengangkat derajat para pejuang medis yang terikat sumpah untuk tetap berada di garis terdepan. Serta menjaga manusia-manusia yang harus keluar untuk memanjangkan hidup setiap harinya. Serta memberikan kekuatan. 

Entah apakah waktu memang sudah memiliki kekuatan memanipulasi manusia sehingga bulan-bulan berjalan dengan rasa yang terlalu sulit untuk diregulasi, terutama bagi mereka-mereka yang kehilangan. Sejak Maret dan segalanya menjadi besar dalam sekejab, di detik ini, belum pula ada tanda-tanda berakhir ketika perlahan orang-orang mulai mematikan rasa takut yang berbulan sebelumnya merajai amygdala-nya. Entah perlahan amygdala menyempit atau, ignorance, letaknya di otak sebelah mana?

Mungkin pun aku yang secara sadar harus mengakhiri rasa takut dengan kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Terkadang ego dan lalai memainkan peran, tapi setelahnya mengutuki diri sendiri karena tanpa sengaja menjadi ignorance. Dan ketika tidak punya kendali untuk memilih, maka tetap harus mengingatkan diri sendiri untuk menjaga kesehatan dan memanjangkan empati. 

Kembali pada perjalanan 2020 untukku sendiri. Masih diisi dengan banyak menghabiskan waktu di depan layar Netflix, karena menurutku menonton film atau serial adalah perjalanan spiritual yang baru. Aku percaya bahwa tidak ada satu pun karya yang tidak bisa diambil apa makna di baliknya. Meskipun aku tahu preferensi yang kusuka, dan makin ke sini makin selektif, tapi sesekali mencoba untuk men-challenge diri sendiri (bahkan seremeh bahan tontonan) untuk memberi ruang pada perspektif. Mengapa suka dan tidak suka. 

Selain di film, pekerjaan pun masih tetap jalan karena ternyata dengan work from home (WFH) pun pekerjaan juga bisa efektif dikerjakan. Meskipun ada tantangan-tantangan tersendiri, terutama di industriku, creative agency ketika produksi perlu supervisi untuk memastikan cerita berjalan sesuai board. Cerita tentang dunia pekerjaan yang juga baru bagiku ini akan kuceritakan lain waktu. 

Selain film dan pekerjaan, hari-hariku diisi dengan memasak ketika WFH. Akhirnya aku menyentuh dapur! Dengan alasan keparnoan, layanan pesan antar yang sempat vakum beberapa waktu, dan hemat, mau tidak mau salah satu cara survive dengan layak adalah dengan memasak makanan sendiri. Dan aku mengapresiasi diriku akan hal itu. Dan aku berterima kasih pada diriku, pada teman-temanku yang berlomba-lomba laporan apa yang dimasak setiap harinya. Motivasi yang menyenangkan. Dan memasak, kurasakan adalah self healing yang sangat efektif. Mau sesederhana apa pun prosesnya. Meskipun pada akhirnya terjadi kemunduran ketika semua sudah 'normal' kembali pun, tetap perlu diapresiasi. 

Di awal pandemi, aku menyelesaikan beberapa course dan banyak mengisi hari-hari dengan konten-konten minimalism. Yang sebenarnya semakin kesini semakin kontradiktif dengan prakteknya karena masih terjebak konsumtif yang sungguh menjengkelkan. Padahal secara sadar siklus setan itu selalu berakhir dengan merutuki diri sendiri. Manusia dan ego 'merasa kurang' ini memang harus sesegera mungkin diregulasi. Konten-konten lain yang mengisi hari-hariku adalah tentang finansial, mindfulness, dekorasi kamar, memasak dan copywriting. Dan akhir-akhir ini adalah konten personal development yang lumayan menjadi life transforming. 

2020 berjalan untukku dengan perpindahan tempat tinggal, BSD. Dengan momen-momen kesadaran tapi tetap masih suka merasa heran, ternyata sudah hampir setengah tahun aku berada di kota ini. Kutilik pada emosiku, aku lebih suka kota ini dari sebelumnya. Tempat kerjaku yang lebih menyejukkan mata karena banyak yang hijau-hijau dan langit biru juga patut disyukuri. Kondisi mentalku kurasakan lebih stabil. 

Membicarakan titik balik

Sebagai self proclaimed esoteric wayfarer, segala hal yang kurasakan menjadi sebuah titik balik adalah perubahan yang dimulai dari dalam diriku. Secara habit tidak banyak yang berubah secara signifikan. Secara mental aku merasakan sebuah titik balik meskipun aku masih belum bisa mengukur, apakah itu masih ada di tatanan konsep atau sudah menjadi mindset baru. Mental yang mengamini bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol dan pelan-pelan memahami itu membuat diri jauh lebih tenang. Dan pelan-pelan menyadari bahwa ketenangan itu tidak selalu berbanding terbalik dengan keresahan. 

Dan ketika lebih jauh memahami bahwa keresahan (anxiety) itu tidak akan pernah hilang, tetapi bisa diajak berdamai dengan kita sering melatih diri kita untuk 'bernafas.' Sekarang rasanya ketika menghadapi sesuatu dan membentur tembok, aku akan kembali menanyakan ke diriku, "Ini sesuatu yang bisa kamu kontrol apa nggak? Kalau nggak bisa kamu kontrol, berarti let go." Dan ketika kamu semakin resah dengan mempertanyakan, "MAUNYA JUGA GITU TAPI SUSAH MAU LET GO! GIMANA DONG?" Pertama, tarik nafas :). 

Seperti halnya ketika ingin mempelajari skill baru kita harus intens berlatih, begitu pun dengan let go, perlu dilatih. Yang kulakukan adalah aku mengamini/mengafirmasi terlebih dahulu jika hal itu meresahkanku dan aku mengafirmasi segala keresahan atau bahkan ketakutan itu. Aku tidak menyuruh diam keresahan itu. Lalu setelahnya aku akan melakukan dialog dengan diriku sendiri, literally that loud, tentang hal yang harus aku lepaskan karena tidak bisa kukontrol. Contoh percakapannya adalah seperti ini: 

Aku: "Sumpah ya kesel banget gue sama itu orang. Kenapa sih pikirannya jelek banget, padahal kan gue nggak maksud begitu."
Aku: "Oke, Nai. Apa yang lo rasain sekarang? 
Aku: "Kesel banget sumpah! Pengen marah rasanya!"
Aku: "Oke, Nai. Lo lagi marah."
Aku: "Gue pusing banget sih, kok ada ya orang begitu?" 
Aku: "Oke, Nai."
Aku: "Iya! Selama ini juga orang struggle banget kan deket sama dia. Capek hati!" 
Aku: "Oke, Nai. Apa yang lo rasain valid."
Aku: "Gue harus gimana dong?"
Aku: "Apa yang menurut lo bisa lo lakukan?"
Aku: "Gue bakalan step back?"
Aku: "Are you feeling peace with that option?
Aku: "Gue mikir sih yang gue rasain ketika berhadapan sama dia selalu begini dan perasaan gue valid. But then, biasanya semua baik-baik aja sih. Semacam kesel sesaat gitu."
Aku: "Iya, Nai. Your feeling is valid." 
Aku: "Dan gue kok lebih nggak lega buat step back? Tapi gue nggak bisa juga diginiin terus sama dia."
Aku: "Jadi gimana Nai, hal yang menurut lo akan membuat lo peace?"
Aku: "Antara yaudah biarin waktu berjalan aja, dan kayaknya kalau ada kejadian kayak gini lagi gue cuma perlu mikir kalau emang udah sifat dia begitu dan yang bisa gue lakuin adalah nafas dulu biar nggak senggol bacok, menyelesaikan pergulatan yang ada di kepala gue, memvalidasi emosi yang gue rasain dan efeknya ke badan gue ketika gue marah. Habis itu gue akan berpikir langkah selanjutnya either biarin aja berlalu atau yaudah kalem aja. Itu sih yang bisa gue kontrol."
Aku: "Thank you myself for sitting here with me and processing all this with me." 

In the end cara itu efektif buatku untuk meregulasi segala hal yang aku rasakan. Rasanya lebih damai ketika mampu berbicara dengan diri sendiri, memvalidasi apa yang dirasakan tanpa judgemental, melabeli apa yang sedang dirasakan dan sepenuhnya menyadari keputusan apa yang akan diambil selanjutnya. Menurutku itu adalah titik balik yang menyenangkan untuk kudapatkan. Mindfulness adalah nama dari semua proses itu. Dan ada di titik memahami bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol itu rasanya menyenangkan. 

Titik balik selanjutnya masih dalam topik mengenali diri sendiri adalah dengan lebih memahami tentang intention dari semua hal yang kulakukan. Apa pun. Apa sebenarnya niatku ketika melakukan satu hal. Aku mengamini dan coba meresonansi bahwa niatku adalah ini dan aku tidak menghakimi niat tersebut. 

Hal baik lainnya yang kurasakan dan perlu kuapresiasi adalah semangat untuk belajar beberapa hal. Bahkan ada di satu titik menyadari bahwa aku nggak bisa memproses segala informasi untuk masuk ke kepalaku. Jadi ketika aku tahu bahwa yang kumau adalah satu hal, aku akan coba fokus di situ dan memberikan perhatian penuh atau fokus ketika mempelajari satu ilmu tersebut. Menjadi generalis tidak salah, tapi menyadari kapasitas diri sendiri untuk tetap memberikan prioritas. Dan yang terpenting dari proses belajar adalah transformasi, yaitu mempraktekkan apa yang telah dipelajari. Aku cukup senang menemukan metode belajar yang menurutku efektif dengan memproses pelan-pelan dan memaksimalkan semua indera. Tugasku sekarang adalah mentransformasikan semua hal yang kupelajari agar lebih applicable. 

Ketika dirunut berbagai kejadian, ternyata banyak hal juga yang bisa aku recall ketika membicarakan 2020. Ini sih nggak jadi kaleidoskop, tapi emang curhat ya wkwkwk. Karena aku baru belajar untuk mengutamakan diriku sesuai intention, maka biarlah tulisan ini begini adanya. Tapi, aku punya beberapa hal yang ingin aku bagi untuk tulisan ke depan yang masih berkaitan dengan ceritaku ini. Diantaranya adalah: 

1. Cara belajar yang efektif menurutku
2. Chanel-chanel yang berguna dalam proses belajar
3. Mindfulness journey
4. Writing and Copywriting 

Semoga hal-hal yang aku niatkan untuk aku bagi ini kedepannya bisa lebih berguna. 

Dan selamat menutup cerita di 2020 dengan apa pun perjalanan yang kamu punya. Semoga pandemi segera berlalu. Semoga kita sehat fisik, mental dan pikiran. Dan semoga 2021 menjadi tahun yang lebih bermakna dan dijalani dengan penuh kesadaran. 

Adios, 2020. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Yak, perlu waktu berjuta tahun lamanya buat sekedar update lima list lainnya. Sungguh sebuah kesia-siaan duniawi yang kuhabiskan setiap harinya hahaha. 

Yok lah mari kita lanjutkan daftar selanjutnya untuk coba mengidentifikasi hal-hal yang kita lakuin setiap harinya itu udah bener apa belum. 

6. Kamu tidak lagi takut menjalani hari-harimu seperti kamu yang dahulu

Secara harfiah mungkin bukan 'takut' karena ada hal-hal yang tidak menyenangkan menghadang setiap harinya. Tapi lebih ke perasaan-perasaan gagal yang kelamaan bersarang tanpa pernah dievaluasi apa sebabnya. 

Misalnya dulu aku adalah tipe orang yang begitu inferior atas hal apapun yang melakat dalam diriku. Selalu mengolok diri bahwa aku gendut lah, kayak ibu-ibu lah, nggak punya selera fashion lah, cemen mau kemana-mana sendiri bahkan untuk nonton bioskop sendiri. Tapi, dengan perasaan tidak nyaman yang aku pelihara selama ini, aku tahu bahwa aku salah dengan semua perasaan itu. Akhirnya pelan-pelan aku mencoba untuk mulai menerima diriku apa adanya. Ya beginilah, emang kenapa? Aku embrace diriku untuk berani berkata, bersikap lebih gentle ke diri sendiri. Dan itu terbukti manjur untuk lebih bersikap bodo amat untuk hal-hal yang nggak esensial untuk dipikirkan:). Belum semuanya di titik meningkatkan kapasitas diri, tapi nggak apa-apa karena mungkin ada hal-hal yang cukup diterima saja tanpa perlu ada improve apa-apa. Karena terlalu banyak layer yang terlalu kompleks sampai kemampuan yang kita miliki masih di titik mengamini. 

7. Mau menerima bahwa hari-hari bisa sangat baik, atau sangat buruk

Nggak apa-apa kalau hari ini kamarmu rapi, beberapa jam kemudian udah berantakan kayak habis dihantam tangan Hulk padahal cuma lupa naruh hape pas beres-beresnya WKWKWK. Padahal ngumpulin mood-nya udah setengah mati. YA SUDAH BIASA. Kalau ada hari yang capek banget, kesel sama orang yang biasanya kulakukan adalah mikirin itu berjuta-juta hari dan akhirnya jadi destruktif ke diri sendiri. Kalau sekarang ya diamini saja namanya manusia biasa ya wajar aja kalau segala hal nggak selalu ideal. Ya sambil berkhayal satu hari atau beban segera pergi, dan kalau itu bisa membantu membuat perasaan lebih baik ya YAUDAH NGAYAL AJA nggak salah. Tapi mungkin perlu dibangun mindset kalau semua hal itu, baik dan buruk, akan berlalu. Jadi mungkin nggak bijak juga untuk terlalu attach sama satu momen, karena bersama kesedihan selalu ada kebahagiaan dan vice versa. Yang terpenting dari poin ini adalah hadir di sini, kini untuk merasakan semua proses dengan kesadaran penuh. 

8. Selalu menghargai semua orang

Attitude untuk menghargai semua orang itu mahal banget harganya. Attitude baik menurutku adalah investasi terbesar manusia. Untukku attitude selalu jadi indikator untuk menilai orang lain. Dengan membangun attitude tanpa menghakimi akan membawa kita pada petualangan-petualangan perspektif yang lebih luas. Kalau ditanya apa goals dari bersikap respect ini? Kalau menurutku kebijaksanaan dan ego. Ada dua hal esensial yang akan kita dapatkan apabila kita membentuk sikap menghargai orang lain ini. Kebijaksaan termasuk di dalamnya adalah ilmu, pengalaman (baik dan buruk), kesabaran dan juga ego bahwa di bawah langit masih ada langit atau ego untuk tidak menghakimi dengan apa yang kita anggap kita berdampak untuk kita. 

9. Kamu tahu apa 'panggilan jiwamu' 

Lanjutannya adalah agar orang lain tidak bisa menghentikan langkahmu. Nggak salah untuk bercita-cita jadi influencer, dokter, arsitek, konsultan, model you name it. Atau mungkin yang banyak digaungkan orang adalah passion. Silakan aja pakai istilah itu kalau kamu nyaman. Kalau aku lebih suka dengan istilah 'grit'. Mungkin bisa dibilang grit ini adalah next level dari passion. Grit adalah kekuatan passion ditambah kegigihan kalau kata Angela Duckworth. 

Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan yang bercerita bahwa dia bingung dengan tujuan karirnya. Dia tahu yang dia mau adalah bekerja sebagai copywriter, tetapi ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan lain, dia sedikit bingung untuk mengambil keputusan. Dan, menurutku hal seperti ini juga banyak terjadi pada oranglain, termasuk aku sendiri. Kalau ditanya apa yang menjadi tujuanku dalam hidup maka ada hal esensial yang harus menjadi pegangan. Walaupun jalan menuju tujuan itu harus dibreakdown menjadi tujuan karir, tujuan percintaan, tujuan pendidikan atau apa pun. Dan tujuan-tujuan dari masing-masing lini kehidupan itu yang mungkin saja dinamis, dan itu nggak apa-apa dan wajar. Menurutku yang harus diketahui adalah mengenai tujuan hidup yang paling utama itu apa? Kita ingin menjadi orang seperti apa? Itu yang akan menjadi pegangan kita untuk lebih realistis dalam melangkah, seabstrak apa pun tujuan hidup kita. Tujuan-tujuan pada berbagai lini itu yang akan membuatnya menjadi konkret. 

10. Kamu tahu apa yang kamu lakukan

Sedang dan akan. Jadi orang-orang tidak mudah menjatuhkanmu. Persistence atau kegigihan dengan apa yang menjadi tujuan hidupmu dan kamu melakukannya dengan senang hati, serius maka jalan akan lebih terang. Menjadi strategis untuk semua tujuan-tujuan hidup kita. Memahami diri sendiri (kelebihan, kelemahan) dan mengamini semua hal itu untuk melakukan upaya terbaik. Tidak takut pada pilihan, tidak takut gagal, tidak takut konsekuensi. Juga memahami bahwa tidak takut adalah sikap keberanian dan penerimaan diri bahwa gagal dan berhasil adalah biasa. Tidak takut adalah memberikan kesadaran penuh pada proses-proses yang dilalui. Tidak apa untuk gagal, tidak apa untuk lelah, tidak apa untuk marah dan sedih. Lalu, memacu diri untuk bergerak lagi, untuk maju atau berganti haluan. Kalau pun ingin berhenti di tempat, sadar konsekuensinya. 

--

Bagian satu bisa di baca di sini

Sumber: Thought Catalog
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pagi ini entah kenapa aku terpikir tentang pertanyaan, "Bagaimana aku tahu bahwa yang aku lakukan itu benar?" Tentang apa yang benar untuk dilakukan ini bukan hanya tentang pekerjaan, jurusan kuliah yang sedang kita jalani, hobi yang kita tekuni, tetapi mencakup segala hal yang melibatkan kita sebagai manusia, baik untuk diri sendiri maupun ketika menjalani peran sebagai makhluk sosial. 

Pertanyaan yang bahkan dengan satu indikator pun rasanya tadi tidak terpikirkan jawabannya sama sekali. Sampai pada akhirnya ketika di kantor, aku mencoba mencari jawabannya dan ada satu artikel panjang yang cukup menjawab pertanyaanku, walaupun secara spesifik aku juga tidak bisa mengutarakan dengan tepat masing-masing experience yang pernah aku alami untuk mengklaim bahwa di satu poin tertentu aku berhasil melaluinya atau punya mindset seperti itu. Atau mungkin mengetahui apa yang sudah benar dilakukan cukup dirasakan dengan hati? 

Tapi berhubung aku orangnya ngeyelan, maka cobalah kucari tahu hal konkret sebagai bahan konfirmasi. 

Ditemani lagu Honne, dan menganggap James Hatcher mirip Joshua Millburn-nya The Minimalist, here we go. 

1. Dapat merasakan bahwa apa yang kamu lakukan adalah hal yang benar dan itu dibuktikan dengan kamu merasa senang melakukannya

Dari poin satu ini sepertinya tidak ada hal yang bisa dibantah selain mengamini. Benar bahwa ketika mempertanyakan apa yang benar untuk dilakukan bisa dimulai dengan menanyakan ke diri kita sendiri bagaimana perasaan kita tentang apa yang sedang kita kerjakan. Sebagai contoh untuk mengonfirmasi pesan ini adalah aku suka sekali nonton Netflix atau film bagus yang bertema misteri, politik maupun kriminal. 

Ketika waktu banyak kuhabiskan untuk menonton serial atau film, aku tidak akan merasa bersalah pada diriku. Karena menurutku waktu yang kuinvestasikan untuk sebuah film atau serial adalah hal yang menyenangkan sekaligus upaya untuk belajar lebih banyak hal seperti universe-universe yang terbangun di dalamnya, pendalaman karakter, budaya, musik dan berbagai hal lain sebagaimana sebuah film seharusnya memainkan perannya, untuk memberikan hiburan itu utama, dan dampak ikutan seperti memberikan informasi atau kritik sosial. Dan banyak hal lain yang menyenangkan untuk kulakukan seperti menonton YouTube, polanya dan sensasi menyenangkannya sama ketika menonton serial/film. 

2. Ketika kamu terus melakukan sesuatu bahkan ketika tidak bisa menjelaskan kenapa kamu begitu menyukai melakukannya

Mungkin poin yang ini bisa didebat, tapi aku masih setuju. Pun mungkin jawabannya hanya sesimpel preferensi. Dan tidak ada yang salah ketika berhubungan dengan preferensi atau selera pribadi, bahkan untuk hal yang tidak bisa dijelaskan seperti suka melihat video treatment yang dilakukan dokter kulit ketika mengeluarkan komedo dari hidung pasiennya. Dan... itu aku hahaha. Walaupun bagi sebagian orang itu menjijikkan, aku tetap suka melihatnya. Tapi dalam skala yang lebih serius sepertinya untuk kasusku adalah decluttering.

Beberapa waktu ini aku lagi suka-sukanya dengan konten-konten minimalism, yang seringkali di dalamnya ada konten mengenail decluttering. Walaupun dari apa yang kudapatkan dari melihat semua hal tentang minimalism, belum banyak yang kupraktekkan, tapi aku suka sekali melihatnya. Bahkan terus-menerus aku menantang diriku untuk segera mengikuti tips yang sangat bisa kulakukan, tapi persentasenya masih kecil. Dan untuk kasus minimalism ini, terjadi dua paradoks yang sulit kubantah, ketika begitu sukanya aku dengan konten minimalism, ada hasrat yang begitu besar juga untuk terus-terusan belanja terutama skincare dan baju-baju berwarna monokrom. 

Walaupun untuk beberapa barang aku sudah tidak punya keterikatan emosi dan begitu mudah untuk decluttering, tapi dari kasus yang sama masih susah untuk menahan hasrat belanja untuk berang-barang tertentu. Tapi ini super tertentu aja, so I still appreciate myself for that. Karena pelan-pelan aku sudah mulai aware tentang barang-barang yang perlu kubeli atau tidak. Untuk paradoks di atas, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya tetapi aku suka melakukannya. 

3. Kamu sudah berdamai dengan segala sesuatu yang terjadi di masa lalu

Poin ini menurutku sangat tepat dan begitu berdampak untukku pribadi. Aku adalah orang yang terlalu overthinking untuk segala hal yang sudah terjadi dan belum terjadi. Pikiranku terlalu rajin berkelana untuk melintasi batas ruang dan waktu hanya untuk membuatku pada akhirnya merasa resah, bersalah dan marah. Sebagai INFP, aku mengakui bahwa hidup di saat ini, kini begitu sulit untuk dilakukan. Itulah salah satu hal yang mendorongku untuk melakukan meditasi, sehingga berharap bisa lebih mindful dalam menjalani hidup. Bahasan mengenai meditasi dan mindful ini akan aku bahas di lain waktu. 

Waktu itu di Twitter aku sempat menulis tentang Alexithymia yang merupakan gangguan psikologis ketika kita tidak bisa mendeskripsikan emosi dan perasaan yang kita alami secara verbal. Dan, belum berdamai dengan masa lalu menurutku erat kaitannya dengan itu. Sempat kupikir apakah konsep berdamai dengan masa lalu adalah abu-abu, dan seorang teman bilang bahwa tidak. Berdamai dengan masa lalu bukan hanya sekedar konsep apalagi abu-abu. Bahwa kelegaan atau legowo yang dia bilang pasti bisa kita rasakan. Sebagai bukti bahwa kita sudah berdamai dengan masalalu dan melakukan hal yang tepat. 

4. Orang meluangkan waktu untukmu

No complaints about this. Menurutku ketika aku, kamu, kita sudah melakukan sesuatu yang benar, baik atau bahkan perbuatan tanpa label yang berarti bagi oranglain, menginvestasikan cinta melalui medium apa pun, entah dimaksudkan secara sengaja atau tidak, berdampak langsung maka sudah menjadi hukum alam rasanya bahwa cinta tersebut akan berbalas dengan sama besarnya atau bahkan dari orang yang tak diduga-duga berbondong-bondong meluangkan waktu untukmu. Dalam skala kecil, mungkin teman, keluarga, kolega. Dalam skala besar, kamu mungkin saja menjadi imam yang dipuja-puja dan diikuti titahnya. 

5. Kamu menyayangi dan menjaga dirimu

Belakangan, konsep self love sedang marak disuarakan seiring dengan orang-orang mulai sadar tentang kesehatan mental. Ada begitu banyak cara yang secara sederhana bisa dilakukan untuk menginvestasikan cinta untuk diri sendiri. Baik aktivitas fisik maupun psikologis banyak yang memiliki dampak positif untuk cinta diri ini. Dan, sekali lagi tidak ada komplain tentang poin yang ini. Hal yang paling benar untuk dilakukan ketika kamu mempertanyakan berbagai hal lain yang mungkin masih jadi pertanyaan besar, tetapi cinta diri ini harus menjadi hal konkret yang dilakukan. 

Implementasi cinta diri mungkin berbeda bagi setiap orang. Tapi tujuannya untuk kesehatan dan kebahagiaan sehingga bisa mencapai kesejahteraan.

--

Postingan ini akan berlanjut ke bagian dua. 

Sumber: Thought Catalog
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Pagi hari setibanya di kantor, biasanya hal pertama yang akan aku lakukan adalah menyalakan laptop, membuka email dan tentu saja menghidrasi tubuhku dengan segelas air putih hangat. Setelah itu, jika memang tidak ada pekerjaan yang menunggu untuk dikerjakan, aku akan membuka portal berita online yang sesuai dengan preferensiku seperti Kumparan, Tirto dan The Conversation untuk dalam negeri. Untuk berita luar negeri biasanya Huffington Post, New York Times atau BBC. Tenang, menyebutkan berbagai portal berita itu bukan cuma buat keren-kerenan kok, ada maksudnya hahaha. 

Pagi ini kumulai dengan membaca cerita tentang W.J.S Poerwadarminta di Tirto. Beliau adalah seorang ahli kamus, leksikograf. Awal kumulai baca seperti tidak asing dengan namanya, lalu kulanjutkan dengan mencari sumber gambar di Google dan betul, aku tidak asing dengan cover Kamus Umum Bahasa Indonesia terutama yang edisi ketiga terbitan Balai Pustaka. Kalau tidak salah dulu aku melihat kamus itu di perpustakaan umum daerah di kota tempat tinggalku, di Sragen tepatnya di ruang khusus yang banyak menyimpan ensiklopedia. 

Selain W.J.S Poerwadarminta seorang leksikograf lain yang terkenal adalah J.S Badudu. Mungkin nama ini tidak terlalu asing bagi anak jaman sekarang, terutama yang menyukai Banda Neira karena cucunya, Ananda Badudu adalah salah satu personilnya. Buku J.S Badudu yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar terlihat lebih familiar lagi buatku. Tapi soal kontennya, aduh, jangan ditanya ya karena apa pun yang tersaring di otakku untuk hal yang baru saja terjadi saja aku bisa langsung lupa, apalagi yang sudah sangat lama. Biasanya yang akan pop-up di kepala hanyalah sepertinya aku familiar dengan nama itu, dan misalnya dikonfirmasi dengan gambar biasanya memorinya akan lebih banjir lagi, tapi jangan tanyakan detil. Karena itu mungkin sudah terkubur di di hippocampus. Berita yang baru saja kubaca bisa saja langsung lupa setelahnya. 

Jangan seperti aku yang terlalu mudah melupakan sesuatu (bukan disengaja) mungkin karena keterbatasan otakku memproses informasi. Tapi, jika kamu adalah orang-orang yang diberi kelebihan mampu mengingat banyak hal, tolong, masukkanlah W.J.S Poerwadarminta dan J.S Badudu di dalam memorimu. Karena beliau berdualah, begitu banyak kata-kata di semestamu bisa tercipta. Penciptaan yang pasti dimulai dengan pencatatan sampai akhirnya berkembang menjadi rutinitas dan budaya. 

Berdasarkan yang kubaca di Tirto, untuk menyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta memerlukan waktu selama tujuh tahun untuk mengumpulkan semua kata-katanya. Dan berakhir menjadi magnum opus, karya besarnya. Tapi, jauh sebelum itu beliau sudah menjadi ahli perkamusan dengan membuat kamus bahasa jawa, bahasa belanda dan bahasa jepang. Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang sudah beliau lalui selama hidupnya, jika ada satu hal yang harus kamu ingat adalah namanya dan sumbangsihnya yang luar biasa terhadap peradaban di Indonesia. Apa artinya dunia ini, dunia kita, tanpa kata-kata? 

Sejarah bahasa yang begitu panjang sampai tercipta bahasa indonesia dan menjadi alat komunikasi universal bagi kita. Sedihnya, bahkan namanya tidak pernah terdengar di pelajaran sejarah maupun bahasa indonesia. Padahal karyanya adalah magnum opus yang sepertinya dengan hati yang sangat lapang, beliau persembahkan untuk menjadi karya kita semua. Bisakah bukan hanya Sumpah Pemuda saja yang kita ingat? Saat mengingat bahwa bahasa persatuan adalah bahasa indonesia, tapi juga mengingat orang yang paling berjasa atas terciptanya penciptaan yang akan berusia seumur hidup negara ini berdiri. 

Kamus tidak akan pernah menjadi obituari. 

Semua orang memerlukan kamus. Secara langsung atau tidak langsung. Tetapi menggunakan kata-kata yang ada di dalam kamus adalah sebuah kepastian. Traveling, menulis buku, mengerjakan tugas, mengejar beasiswa, menulis pesan WhatsApp, nge-tweet, atau buat status galau sampai pidato presiden tidak akan lepas dari kata-kata. Tidak akan lepas dari inventaris dalam apa yang ada di dalam kamus. 

Jujur, bagiku bahwa ada kemungkinan telinga kita tidak pernah mendengar namanya, begitu membuatku sedih. Ketika kita, hari ini menikmati keagungan bahasa indonesia hari ini, adalah terjadi karena beliau berdua. By the way, kata obituari yang sudah biasa dipakai dalam mengabarkan berita duka saja tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mungkin karena itu kata serapan dari obituary.

Obituari J.S Badudu dan W.J.S Poerwadarminta mungkin sudah bertahun lalu, tapi biarlah mereka menjadi obituari yang hidup. 


Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sudah terlalu lama blog ini terbengkalai bahkan sebelum banyak berisi cerita. Hari ini, tergerak untuk mendengarkan dan mengambil ilmu dari apa yang Mbak Windy Ariestanty sampaikan dalam workshop menulis yang saya syukuri karena bisa dilihat melalui website Narasi TV. 

Dan apa yang disampaikan oleh Mbak Windy selalu menakjubkan buat saya. Hampir tidak ada penyangkalan, selain perasaan mengamini. Sayang banget sama Mbak Windy yang sedemikian rupa ketika menceritakan, bahkan dalam sesi wokshop-pun yang dia sampaikan adalah menerapkan apa yang akan dia sampaikan, yaitu bercerita. 

Dalam workshop yang berjudul Give Your Story A Voice Mbak Windy menyampaikan bahwa seseorang bercerita itu adalah upaya-upaya untuk membangun empati. Dimulai dari pentingnya bercerita yang menurutnya adalah bahwa cerita berguna untuk memperpanjang ingatan tentang sesuatu. Kenapa pencatatan ini penting dikarenakan berhubungan dengan kepunahan. Langsung oleh Mbak Windy dimulai dengan cerita mengenai bukti-bukti peradaban di salah satu daerah di Pulau Maluku yaitu di Pulau Tanimbar Kei. Seorang antropolog Perancis konon menceritakan bahwa di Pulai Tanimbar Kei tidak ada yang mampu menjelaskan mengenai struktur bangunan rumah asli penduduk Kei dan juga tradisi budaya yang masih mereka lakukan hingga saat ini, selain apa yang mereka katakan, menurut nenek moyang mereka. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pencatatan sama sekali mengenai kebudayaan Tanimbar Kei. Satu-satunya pencatatan yang ada adalah milik antropolog Perancis tadi dan dibawa pulang ke negaranya. 

Dari cerita tersebut Mbak Windy bilang bahwa pencatatan atau cerita menjadi penting untuk memperpanjang ingatan tentang sesuatu. Dikatakan oleh Mbak Windy, "Ingatan menjadi mudah untuk ditelusuri karena ada bukti dan kita menjadi tidak lupa."

Menyambung dari apa yang disampaikan oleh Mbak Windy, aku juga menyadari bahwa pentingnya pencatatan adalah agar kita tidak begitu mudah lupa untuk hal-hal yang sebenarnya penting, tapi karena kita menjalani dengan setengah hati atau tidak dalam kesadaran penuh, maka akan semudah itu lupa. Contohnya? Semua mata kuliah/pelajaran kita. Ketika tidak dibantu oleh pencatatan kita atau mendapat bukti-bukti tertulis maka sepertinya sedikit mustahil kita akan mengingat kembali ketika membutuhkan pengalaman atau pengetahuan tertentu. Bahkan, aku yang dulu suka mencatat berbagai hal di buku kecil ketika ditanya satu bagian saja yang pernah kutulis, maka hampir dimungkinkan aku sudah tidak mengingatnya. Tetapi ketika dirangsang dengan membaca pencatatan tersebut, aku bisa mengingat sedikit banyak pada momen apa aku mencacat hal tersebut. Dari pencatatan bisa meresonansi cerita yang ada. 

Poin kedua ketika ditanya apa pentingnya bercerita adalah menghubungkan manusia. Dicontohkan oleh Mbak Windy mengenai cerita John Hersey penulis Hiroshima bahwa dari cerita tersebut semua orang tergerak untuk berpikir dan berempati bahwa tidak ada sedikit pun keuntungan yang didapatkan dari perang. 

Cerita juga mampu membangun empati dari orang-orang yang membaca atau mendengar. Seperti halnya cerita-cerita personal di Instagram, Twitter (thread) yang mampu menggerakkan orang-orang untuk berempati, seperti memberika bantuan material atau berupa dukungan. Untuk poin ini, banyak sekali contohnya, bukan hanya kejadian dalam hitungan hari, bahkan bisa hitungan detik. Konten-konten berseliweran mengenai cerita individu, kelompok maupun kondisi-kondisi yang merangkum isu publik untuk membuat semua orang relate. Cerita pada intinya berbahan dasar 'manusia', maka dari itu yang akan dihasilkan adalah empati. 

Pencerita-pencerita (kita), penulis sedang bekerja untuk kemanusiaan. Kita sedang menyelamatkan kemanusiaan. 

Lebih lanjut Mbak Windy menyampaikan elemen penting dalam bercerita agar mampu membangun empati. Elemen pertama yang menurutnya penting adalah berbagi pengalaman. Ketika orang berbagi pengalaman, orang lain tidak ada yang keberatan untuk menyimak. Berbagi pengalaman adalah perjalanan paling autentik yang bisa menjadi kunci untuk membangun empati orang lain. Terlebih ketika apa yang dialami adalah hal-hal yang dekat kehidupan banyak orang seperti pengalaman menjadi ibu, pengalaman berjuang untuk beasiswa dan pengalaman liburan di daerah-daerah eksotis Indonesia dengan kekayaan alam dan kebudayaan yang indah. 

Cerita juga membuat kita tidak menyerah satu sama lain. Ketika apa yang baru saja terjadi pada republik ini ketika demonstrasi mahasiswa dengan tujuh tuntutan terhadap kinerja pemerintah menjadi aksi yang sangat akbar. Bahwa cerita bisa menjadi semangat kolektif untuk akhirnya bisa menggerakkan begitu banyak orang untuk memperjuangkan nasibnya. Bahwa perjuangan kolektif ini bukan perjuangan satu orang melainkan perjuangan seluruh warga negara untuk haknya. 

Cerita juga membuat manusia lebih peka. Dan ini sangat kuamini. Sudah tidak terhitung lagi cerita-cerita yang saya dengarkan dari teman, orang yang tanpa sengaja temui atau orang yang secara sengaja memang saya minta untuk cerita. Dari apa yang mereka ceritakan, membuat aku sebagai manusia lebih peka seperti mengerti perasaan oranglain tanpa harus mengalami apa yang orang tersebut alami. Cerita adalah pintu-pintu menuju sejarah-sejarah penting bagi manusia.

Cerita yang mempunyai kekuatan adalah cerita yang bisa membangkitkan empati, kemanusiaan dan memiliki nilai. Setuju kah kamu?

Jadi, apa cerita berharga yang pernah kamu dengar?

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Older Posts

Nauraini

Foto saya
Nauraini
Confirmed INFP's
Lihat profil lengkapku

about Nauraini

Hola! Welcome to Nauraini's blog (or rant platform). Nau is an INFP who obsessed with art, minimalism and writing. You can discussed with Nau about :
communication, movie, music and writing.
At this time, Nau already published her first novel Jarak Antarbintang (2018, Elex Media Komputindo). You can connect with Nau through her Wattpad, Twitter, Instagram. Nau very fond of friends, so :)

Nau's Instagram

@nauraini

Get in touch with Nauraini

  • LinkedIn
  • Spotify
  • Goodreads
  • twitter
  • instagram
  • youtube

Categories

  • Book
  • Human
  • INFP
  • Indonesia
  • Podcast
  • Reading
  • Self Reflection
  • Writing

Blog Archive

  • Desember 2020 (1)
  • Maret 2020 (1)
  • Desember 2019 (1)
  • November 2019 (2)
  • Oktober 2018 (1)
  • Juni 2018 (9)

Nau's On Going Story

Nau's bookshelf: read

Parijs van Java: Darah, Keringat, Air mata
really liked it
Parijs van Java: Darah, Keringat, Air mata
by Remy Sylado
Pride and Prejudice
liked it
Pride and Prejudice
by Jane Austen
The Nose
it was amazing
The Nose
by Nikolai Gogol
A Portrait of the Artist as a Young Man
it was amazing
A Portrait of the Artist as a Young Man
by James Joyce
Ulysses
it was amazing
Ulysses
by James Joyce

goodreads.com

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates