Bagaimana Aku Tahu yang Aku Lakukan Itu Benar? [Bag. 1]

by - 12/02/2019 04:06:00 PM

Pagi ini entah kenapa aku terpikir tentang pertanyaan, "Bagaimana aku tahu bahwa yang aku lakukan itu benar?" Tentang apa yang benar untuk dilakukan ini bukan hanya tentang pekerjaan, jurusan kuliah yang sedang kita jalani, hobi yang kita tekuni, tetapi mencakup segala hal yang melibatkan kita sebagai manusia, baik untuk diri sendiri maupun ketika menjalani peran sebagai makhluk sosial. 

Pertanyaan yang bahkan dengan satu indikator pun rasanya tadi tidak terpikirkan jawabannya sama sekali. Sampai pada akhirnya ketika di kantor, aku mencoba mencari jawabannya dan ada satu artikel panjang yang cukup menjawab pertanyaanku, walaupun secara spesifik aku juga tidak bisa mengutarakan dengan tepat masing-masing experience yang pernah aku alami untuk mengklaim bahwa di satu poin tertentu aku berhasil melaluinya atau punya mindset seperti itu. Atau mungkin mengetahui apa yang sudah benar dilakukan cukup dirasakan dengan hati? 

Tapi berhubung aku orangnya ngeyelan, maka cobalah kucari tahu hal konkret sebagai bahan konfirmasi. 

Ditemani lagu Honne, dan menganggap James Hatcher mirip Joshua Millburn-nya The Minimalist, here we go. 

1. Dapat merasakan bahwa apa yang kamu lakukan adalah hal yang benar dan itu dibuktikan dengan kamu merasa senang melakukannya

Dari poin satu ini sepertinya tidak ada hal yang bisa dibantah selain mengamini. Benar bahwa ketika mempertanyakan apa yang benar untuk dilakukan bisa dimulai dengan menanyakan ke diri kita sendiri bagaimana perasaan kita tentang apa yang sedang kita kerjakan. Sebagai contoh untuk mengonfirmasi pesan ini adalah aku suka sekali nonton Netflix atau film bagus yang bertema misteri, politik maupun kriminal. 

Ketika waktu banyak kuhabiskan untuk menonton serial atau film, aku tidak akan merasa bersalah pada diriku. Karena menurutku waktu yang kuinvestasikan untuk sebuah film atau serial adalah hal yang menyenangkan sekaligus upaya untuk belajar lebih banyak hal seperti universe-universe yang terbangun di dalamnya, pendalaman karakter, budaya, musik dan berbagai hal lain sebagaimana sebuah film seharusnya memainkan perannya, untuk memberikan hiburan itu utama, dan dampak ikutan seperti memberikan informasi atau kritik sosial. Dan banyak hal lain yang menyenangkan untuk kulakukan seperti menonton YouTube, polanya dan sensasi menyenangkannya sama ketika menonton serial/film. 

2. Ketika kamu terus melakukan sesuatu bahkan ketika tidak bisa menjelaskan kenapa kamu begitu menyukai melakukannya

Mungkin poin yang ini bisa didebat, tapi aku masih setuju. Pun mungkin jawabannya hanya sesimpel preferensi. Dan tidak ada yang salah ketika berhubungan dengan preferensi atau selera pribadi, bahkan untuk hal yang tidak bisa dijelaskan seperti suka melihat video treatment yang dilakukan dokter kulit ketika mengeluarkan komedo dari hidung pasiennya. Dan... itu aku hahaha. Walaupun bagi sebagian orang itu menjijikkan, aku tetap suka melihatnya. Tapi dalam skala yang lebih serius sepertinya untuk kasusku adalah decluttering.

Beberapa waktu ini aku lagi suka-sukanya dengan konten-konten minimalism, yang seringkali di dalamnya ada konten mengenail decluttering. Walaupun dari apa yang kudapatkan dari melihat semua hal tentang minimalism, belum banyak yang kupraktekkan, tapi aku suka sekali melihatnya. Bahkan terus-menerus aku menantang diriku untuk segera mengikuti tips yang sangat bisa kulakukan, tapi persentasenya masih kecil. Dan untuk kasus minimalism ini, terjadi dua paradoks yang sulit kubantah, ketika begitu sukanya aku dengan konten minimalism, ada hasrat yang begitu besar juga untuk terus-terusan belanja terutama skincare dan baju-baju berwarna monokrom. 

Walaupun untuk beberapa barang aku sudah tidak punya keterikatan emosi dan begitu mudah untuk decluttering, tapi dari kasus yang sama masih susah untuk menahan hasrat belanja untuk berang-barang tertentu. Tapi ini super tertentu aja, so I still appreciate myself for that. Karena pelan-pelan aku sudah mulai aware tentang barang-barang yang perlu kubeli atau tidak. Untuk paradoks di atas, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya tetapi aku suka melakukannya. 

3. Kamu sudah berdamai dengan segala sesuatu yang terjadi di masa lalu

Poin ini menurutku sangat tepat dan begitu berdampak untukku pribadi. Aku adalah orang yang terlalu overthinking untuk segala hal yang sudah terjadi dan belum terjadi. Pikiranku terlalu rajin berkelana untuk melintasi batas ruang dan waktu hanya untuk membuatku pada akhirnya merasa resah, bersalah dan marah. Sebagai INFP, aku mengakui bahwa hidup di saat ini, kini begitu sulit untuk dilakukan. Itulah salah satu hal yang mendorongku untuk melakukan meditasi, sehingga berharap bisa lebih mindful dalam menjalani hidup. Bahasan mengenai meditasi dan mindful ini akan aku bahas di lain waktu. 

Waktu itu di Twitter aku sempat menulis tentang Alexithymia yang merupakan gangguan psikologis ketika kita tidak bisa mendeskripsikan emosi dan perasaan yang kita alami secara verbal. Dan, belum berdamai dengan masa lalu menurutku erat kaitannya dengan itu. Sempat kupikir apakah konsep berdamai dengan masa lalu adalah abu-abu, dan seorang teman bilang bahwa tidak. Berdamai dengan masa lalu bukan hanya sekedar konsep apalagi abu-abu. Bahwa kelegaan atau legowo yang dia bilang pasti bisa kita rasakan. Sebagai bukti bahwa kita sudah berdamai dengan masalalu dan melakukan hal yang tepat. 

4. Orang meluangkan waktu untukmu

No complaints about this. Menurutku ketika aku, kamu, kita sudah melakukan sesuatu yang benar, baik atau bahkan perbuatan tanpa label yang berarti bagi oranglain, menginvestasikan cinta melalui medium apa pun, entah dimaksudkan secara sengaja atau tidak, berdampak langsung maka sudah menjadi hukum alam rasanya bahwa cinta tersebut akan berbalas dengan sama besarnya atau bahkan dari orang yang tak diduga-duga berbondong-bondong meluangkan waktu untukmu. Dalam skala kecil, mungkin teman, keluarga, kolega. Dalam skala besar, kamu mungkin saja menjadi imam yang dipuja-puja dan diikuti titahnya. 

5. Kamu menyayangi dan menjaga dirimu

Belakangan, konsep self love sedang marak disuarakan seiring dengan orang-orang mulai sadar tentang kesehatan mental. Ada begitu banyak cara yang secara sederhana bisa dilakukan untuk menginvestasikan cinta untuk diri sendiri. Baik aktivitas fisik maupun psikologis banyak yang memiliki dampak positif untuk cinta diri ini. Dan, sekali lagi tidak ada komplain tentang poin yang ini. Hal yang paling benar untuk dilakukan ketika kamu mempertanyakan berbagai hal lain yang mungkin masih jadi pertanyaan besar, tetapi cinta diri ini harus menjadi hal konkret yang dilakukan. 

Implementasi cinta diri mungkin berbeda bagi setiap orang. Tapi tujuannya untuk kesehatan dan kebahagiaan sehingga bisa mencapai kesejahteraan.

--

Postingan ini akan berlanjut ke bagian dua. 

Sumber: Thought Catalog

You May Also Like

1 komentar

  1. Aku rekomendasiin buku Berpikir seperti nabi kak.. Dijamin Insyaallah terjawab.
    Bukunya buku ilmiah, so far, itu satu2 nya buku ilmiah yg aku suka. Karena penjelasannya rasional, tapi ga menganut rasionalisme.

    BalasHapus

As an INFP (usually) prefer for harmony. But, I am bit masochist about myself, obviously about finding subjective or objective comments. So, please comfort your self to leave your impression.