Kaleidoskop 2020: Membicarakan Titik Balik

by - 12/13/2020 10:00:00 PM

Jika tidak ada catatan yang tanpa sengaja kujadikan sebagai highlight di Instagram tentang film-film dan serial yang sudah kutonton selama 2020, sepertinya akan lebih banyak lagi memori yang melesat tanpa sempat mampir lebih lama. Memang, bahwa sosial media pun bisa menjadi pengingat momen-momen apa saja yang sudah kita lalui sepanjang tahun, lewat history. Jika screen time di ponsel bisa lebih representatif merekap penggunaan ponsel selama satu tahun, maka dapat dipastikan bahwa waktu-waktu berharga untuk pengembangan diri sudah beralih medium. Kutebak, kemungkinan waktu-waktu yang akan muncul di ponselku adalah Instagram, YouTube, Netflix dan Spotify. Dan jujur untuk medium-medium yang kusebutkan di atas, aku tidak pernah menyesal menghabiskan waktu di sana. 

Aku bisa memastikan, betapa pun asyiknya scrolling untuk memberi makan rasa iri atas kehidupan oranglain di Instagram, tak pernah lebih lama daripada mendengarkan orang-orang yang menyimpan video live-nya tentang banyak hal yang berguna. Meskipun scrolling menjadi begitu menyenangkan, tapi kesadaran diri lumayan cepat mengambil alih dan membisiki, "Mending waktunya dipake buat nonton film daripada scroll Instagram." Dan begitulah siklus-siklus yang terjadi di tahun 2020. Tanpa mengecilkan sama sekali apa yang tengah terjadi di dunia ini, mode introvert-ku sejujurnya senang ketika aku lebih banyak menyendiri selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tapi pun aku sadar bahwa yang paling menikmatinya adalah otak malasku dan dengan tidak adanya pressure yang positif, aku akan stagnan. Dan pressure positif itu selama ini banyak dipantik dari luar yang akhirnya memantikku untuk bergerak. 

Semua orang memiliki milestone dalam keterbatasan yang terjadi di 2020. Dan aku mengirikan orang-orang yang secara sporadis muncul dengan berbagai kemampuannya untuk survive dengan menjadi entrepreneur dadakan. Sungguh menyenangkan dan mengharukan sekali melihat orang-orang yang begitu kreatifnya mencipta sesuatu dan tidak tunduk menyesali situasi yang terjadi tidak hanya pada satu individu, tapi pada setiap individu di seluruh dunia. 

Dan untuk Tuhan yang sedang menunjukkan kuasanya entah atas kesalahan manusia yang mana, atau untuk memberikan peringatan, kuhanya memohon untuk memberikan tempat terbaik bagi orang-orang baik yang pergi karena COVID-19 ini, dan memberikan kekuatan pada keluarga yang ditinggalkannya. Dan memberikan kekuatan serta mengangkat derajat para pejuang medis yang terikat sumpah untuk tetap berada di garis terdepan. Serta menjaga manusia-manusia yang harus keluar untuk memanjangkan hidup setiap harinya. Serta memberikan kekuatan. 

Entah apakah waktu memang sudah memiliki kekuatan memanipulasi manusia sehingga bulan-bulan berjalan dengan rasa yang terlalu sulit untuk diregulasi, terutama bagi mereka-mereka yang kehilangan. Sejak Maret dan segalanya menjadi besar dalam sekejab, di detik ini, belum pula ada tanda-tanda berakhir ketika perlahan orang-orang mulai mematikan rasa takut yang berbulan sebelumnya merajai amygdala-nya. Entah perlahan amygdala menyempit atau, ignorance, letaknya di otak sebelah mana?

Mungkin pun aku yang secara sadar harus mengakhiri rasa takut dengan kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Terkadang ego dan lalai memainkan peran, tapi setelahnya mengutuki diri sendiri karena tanpa sengaja menjadi ignorance. Dan ketika tidak punya kendali untuk memilih, maka tetap harus mengingatkan diri sendiri untuk menjaga kesehatan dan memanjangkan empati. 

Kembali pada perjalanan 2020 untukku sendiri. Masih diisi dengan banyak menghabiskan waktu di depan layar Netflix, karena menurutku menonton film atau serial adalah perjalanan spiritual yang baru. Aku percaya bahwa tidak ada satu pun karya yang tidak bisa diambil apa makna di baliknya. Meskipun aku tahu preferensi yang kusuka, dan makin ke sini makin selektif, tapi sesekali mencoba untuk men-challenge diri sendiri (bahkan seremeh bahan tontonan) untuk memberi ruang pada perspektif. Mengapa suka dan tidak suka. 

Selain di film, pekerjaan pun masih tetap jalan karena ternyata dengan work from home (WFH) pun pekerjaan juga bisa efektif dikerjakan. Meskipun ada tantangan-tantangan tersendiri, terutama di industriku, creative agency ketika produksi perlu supervisi untuk memastikan cerita berjalan sesuai board. Cerita tentang dunia pekerjaan yang juga baru bagiku ini akan kuceritakan lain waktu. 

Selain film dan pekerjaan, hari-hariku diisi dengan memasak ketika WFH. Akhirnya aku menyentuh dapur! Dengan alasan keparnoan, layanan pesan antar yang sempat vakum beberapa waktu, dan hemat, mau tidak mau salah satu cara survive dengan layak adalah dengan memasak makanan sendiri. Dan aku mengapresiasi diriku akan hal itu. Dan aku berterima kasih pada diriku, pada teman-temanku yang berlomba-lomba laporan apa yang dimasak setiap harinya. Motivasi yang menyenangkan. Dan memasak, kurasakan adalah self healing yang sangat efektif. Mau sesederhana apa pun prosesnya. Meskipun pada akhirnya terjadi kemunduran ketika semua sudah 'normal' kembali pun, tetap perlu diapresiasi. 

Di awal pandemi, aku menyelesaikan beberapa course dan banyak mengisi hari-hari dengan konten-konten minimalism. Yang sebenarnya semakin kesini semakin kontradiktif dengan prakteknya karena masih terjebak konsumtif yang sungguh menjengkelkan. Padahal secara sadar siklus setan itu selalu berakhir dengan merutuki diri sendiri. Manusia dan ego 'merasa kurang' ini memang harus sesegera mungkin diregulasi. Konten-konten lain yang mengisi hari-hariku adalah tentang finansial, mindfulness, dekorasi kamar, memasak dan copywriting. Dan akhir-akhir ini adalah konten personal development yang lumayan menjadi life transforming

2020 berjalan untukku dengan perpindahan tempat tinggal, BSD. Dengan momen-momen kesadaran tapi tetap masih suka merasa heran, ternyata sudah hampir setengah tahun aku berada di kota ini. Kutilik pada emosiku, aku lebih suka kota ini dari sebelumnya. Tempat kerjaku yang lebih menyejukkan mata karena banyak yang hijau-hijau dan langit biru juga patut disyukuri. Kondisi mentalku kurasakan lebih stabil. 

Membicarakan titik balik

Sebagai self proclaimed esoteric wayfarer, segala hal yang kurasakan menjadi sebuah titik balik adalah perubahan yang dimulai dari dalam diriku. Secara habit tidak banyak yang berubah secara signifikan. Secara mental aku merasakan sebuah titik balik meskipun aku masih belum bisa mengukur, apakah itu masih ada di tatanan konsep atau sudah menjadi mindset baru. Mental yang mengamini bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol dan pelan-pelan memahami itu membuat diri jauh lebih tenang. Dan pelan-pelan menyadari bahwa ketenangan itu tidak selalu berbanding terbalik dengan keresahan. 

Dan ketika lebih jauh memahami bahwa keresahan (anxiety) itu tidak akan pernah hilang, tetapi bisa diajak berdamai dengan kita sering melatih diri kita untuk 'bernafas.' Sekarang rasanya ketika menghadapi sesuatu dan membentur tembok, aku akan kembali menanyakan ke diriku, "Ini sesuatu yang bisa kamu kontrol apa nggak? Kalau nggak bisa kamu kontrol, berarti let go." Dan ketika kamu semakin resah dengan mempertanyakan, "MAUNYA JUGA GITU TAPI SUSAH MAU LET GO! GIMANA DONG?" Pertama, tarik nafas :). 

Seperti halnya ketika ingin mempelajari skill baru kita harus intens berlatih, begitu pun dengan let go, perlu dilatih. Yang kulakukan adalah aku mengamini/mengafirmasi terlebih dahulu jika hal itu meresahkanku dan aku mengafirmasi segala keresahan atau bahkan ketakutan itu. Aku tidak menyuruh diam keresahan itu. Lalu setelahnya aku akan melakukan dialog dengan diriku sendiri, literally that loud, tentang hal yang harus aku lepaskan karena tidak bisa kukontrol. Contoh percakapannya adalah seperti ini: 

Aku: "Sumpah ya kesel banget gue sama itu orang. Kenapa sih pikirannya jelek banget, padahal kan gue nggak maksud begitu."
Aku: "Oke, Nai. Apa yang lo rasain sekarang? 
Aku: "Kesel banget sumpah! Pengen marah rasanya!"
Aku: "Oke, Nai. Lo lagi marah."
Aku: "Gue pusing banget sih, kok ada ya orang begitu?" 
Aku: "Oke, Nai."
Aku: "Iya! Selama ini juga orang struggle banget kan deket sama dia. Capek hati!" 
Aku: "Oke, Nai. Apa yang lo rasain valid."
Aku: "Gue harus gimana dong?"
Aku: "Apa yang menurut lo bisa lo lakukan?"
Aku: "Gue bakalan step back?"
Aku: "Are you feeling peace with that option?
Aku: "Gue mikir sih yang gue rasain ketika berhadapan sama dia selalu begini dan perasaan gue valid. But then, biasanya semua baik-baik aja sih. Semacam kesel sesaat gitu."
Aku: "Iya, Nai. Your feeling is valid." 
Aku: "Dan gue kok lebih nggak lega buat step back? Tapi gue nggak bisa juga diginiin terus sama dia."
Aku: "Jadi gimana Nai, hal yang menurut lo akan membuat lo peace?"
Aku: "Antara yaudah biarin waktu berjalan aja, dan kayaknya kalau ada kejadian kayak gini lagi gue cuma perlu mikir kalau emang udah sifat dia begitu dan yang bisa gue lakuin adalah nafas dulu biar nggak senggol bacok, menyelesaikan pergulatan yang ada di kepala gue, memvalidasi emosi yang gue rasain dan efeknya ke badan gue ketika gue marah. Habis itu gue akan berpikir langkah selanjutnya either biarin aja berlalu atau yaudah kalem aja. Itu sih yang bisa gue kontrol."
Aku: "Thank you myself for sitting here with me and processing all this with me." 

In the end cara itu efektif buatku untuk meregulasi segala hal yang aku rasakan. Rasanya lebih damai ketika mampu berbicara dengan diri sendiri, memvalidasi apa yang dirasakan tanpa judgemental, melabeli apa yang sedang dirasakan dan sepenuhnya menyadari keputusan apa yang akan diambil selanjutnya. Menurutku itu adalah titik balik yang menyenangkan untuk kudapatkan. Mindfulness adalah nama dari semua proses itu. Dan ada di titik memahami bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol itu rasanya menyenangkan. 

Titik balik selanjutnya masih dalam topik mengenali diri sendiri adalah dengan lebih memahami tentang intention dari semua hal yang kulakukan. Apa pun. Apa sebenarnya niatku ketika melakukan satu hal. Aku mengamini dan coba meresonansi bahwa niatku adalah ini dan aku tidak menghakimi niat tersebut. 

Hal baik lainnya yang kurasakan dan perlu kuapresiasi adalah semangat untuk belajar beberapa hal. Bahkan ada di satu titik menyadari bahwa aku nggak bisa memproses segala informasi untuk masuk ke kepalaku. Jadi ketika aku tahu bahwa yang kumau adalah satu hal, aku akan coba fokus di situ dan memberikan perhatian penuh atau fokus ketika mempelajari satu ilmu tersebut. Menjadi generalis tidak salah, tapi menyadari kapasitas diri sendiri untuk tetap memberikan prioritas. Dan yang terpenting dari proses belajar adalah transformasi, yaitu mempraktekkan apa yang telah dipelajari. Aku cukup senang menemukan metode belajar yang menurutku efektif dengan memproses pelan-pelan dan memaksimalkan semua indera. Tugasku sekarang adalah mentransformasikan semua hal yang kupelajari agar lebih applicable. 

Ketika dirunut berbagai kejadian, ternyata banyak hal juga yang bisa aku recall ketika membicarakan 2020. Ini sih nggak jadi kaleidoskop, tapi emang curhat ya wkwkwk. Karena aku baru belajar untuk mengutamakan diriku sesuai intention, maka biarlah tulisan ini begini adanya. Tapi, aku punya beberapa hal yang ingin aku bagi untuk tulisan ke depan yang masih berkaitan dengan ceritaku ini. Diantaranya adalah: 

1. Cara belajar yang efektif menurutku
2. Chanel-chanel yang berguna dalam proses belajar
3. Mindfulness journey
4. Writing and Copywriting 

Semoga hal-hal yang aku niatkan untuk aku bagi ini kedepannya bisa lebih berguna. 

Dan selamat menutup cerita di 2020 dengan apa pun perjalanan yang kamu punya. Semoga pandemi segera berlalu. Semoga kita sehat fisik, mental dan pikiran. Dan semoga 2021 menjadi tahun yang lebih bermakna dan dijalani dengan penuh kesadaran. 

Adios, 2020. 

You May Also Like

0 komentar

As an INFP (usually) prefer for harmony. But, I am bit masochist about myself, obviously about finding subjective or objective comments. So, please comfort your self to leave your impression.