• Home
  • Thoughts
  • Writing
  • Journey
  • Inspiration
  • Portfolio
Pinterest Instagram Twitter Facebook Email

Naimmah Nur Aini

Aku sedang senang mendengarkan podcast akhir-akhir ini. Sempat terpikir untuk membuat konten yang sama karena so for terlalu banyak suara-suara yang tertahan dari orang-orang yang memiliki pikiran terbuka dan visioner. Belakangan, kembali banyak hal-hal tidak penting yang justru menjadi topik yang diangkat berulang-ulang.

Salah satu yang menarik perhatianku dari pembicaraan di salah satu podcast adalah tentang keegoisan berkarya. Man, emang ya manusia di mana-mana itu selalu diikuti sama egosentrisnya. Mau lo pengikut setia Hierarki Maslow atau penolak habis-habisan karena hidup tidak cuma tentang afeksi. Terserahlah. Intinya bukan itu, intinya di sini adalah bahwa dalam menciptakan sebuah karya perlu diikuti dengan keegoisan bahwa value yang akan lo sampaikan itu memang harus tersampaikan.
Berbagai motif orang yang menjadi kreator-kreator konten positif (negatif juga) atau cuma sekedar penyedia layanan untuk memberikan sebutlah pencerahan. Dari mereka-mereka itu harus memegang egoisme.

Mungkin maksudnya adalah idealisme?

Bukan, bukan. Kreator mungkin tidak perlu melibatkan terlalu jauh kehidupan pribadinya dalam karya yang dia buat (secara idealisme adalah representasi general sekaligus privat dari diri seseorang, menurutku). Dia bisa menyinkronisasi dengan apapun, entah itu common knowledge atau hal-hal logis yang sebenarnya cukup mudah tetapi orang perlu bertanya dulu untuk disadarkan. Dan kenapa mereka perlu egois adalah masalah teritori dan pertanggungjawaban.

Science yang menyediakan placeholder untuk orang mau menerima atau tidak mungkin tidak sebanding jika dikomparasi dengan konten yang coba disampaikan oleh kreator tersebut. Tetapi, membicarakan diri manusia yang terbatas atas ruang dan waktu maka seseorang (as a creator) perlu menjadi egois untuk mempertahankan value yang coba dia sampaikan. Seorang kreator tidak seharusnya goyah akan hal-hal yang tidak prinsipil. Kalau kedepannya ada perubahan dalam konten yang disajikan pun, itu hanya akan dinilai bukan sebuah inkonsistensi tapi orang tersebut berkembang.

Aku rasa semua orang punya prinsip (terlebih yang menamakan dirinya adalah seorang kreator) dan perlunya bersikap egois adalah karena dia membawa pesan khusus yang berharap nantinya akan dijalankan oleh orang yang menikmati kontennya. Terlepas dari baik dan buruk penerimaan orang lain, seorang kreator juga membawa sebuah tanggungjawab dari dampak yang mungkin ditimbulkan. Oleh karenanya dengan sikap egois itu banyak feedback juga yang akan dia terima. Boundaries dia akan semakin terlihat bahwa oh ini impact gue dari konten yang gue sajikan. Dan egois juga berkaitan dengan fabricated bahwa pikiran yang dia punya harus mendunia. Egois membawa lo tetap dalam jalur yang sesuai. Bahwa pikiran lo itu menarik dan dunia perlu tahu. Dan itu adalah hasil yang positif dari sebuah egoisme.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
I don’t do research or just simply search for something destructive. Cause my life so much full of something that i doesn’t know yet. Too precious to taking care of people thinking mostly in negativity verbs. And I won’t let my self to refused all things about thinking of that. Just say that that my tips to control my self never thinking back negativity.

Too much transformation in people life. Everything heck happen to our life, just make sure that you taking full of responsibility. And no one doesn’t know and can’t rate you low. So much hatred happen lately because of social standard that you live in. People just forget that you have your own life to live. In order you doesn’t disturb and disadvantageous people in personal tho, you good and fine.
Mostly i’m thinking why people can’t live with purity constructive themselves and respect for the others? Like who are you rightful to judge someone you doesn’t know? Even you’re people closed, you not justified to do that. One thing you can do is give them constructive suggestions. Not suddenly judging and spread hatred. People, still human have heart inside. It can hurt by just one word.
Like stop being judge people especially in their personal life. If you so much care, ask them and then give them some suggestion. If you stop or continuing your judging, you get nothing except an other hatred. Maybe quote from Pramoedya can related with this situation, “Be fair since your mind.”
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Maybe human nature when their existence questioned or simply because disturbed to make a move shown an existence. Not trying to counting people who actually cool or quashi-cool but you wanna one of them. There is so much possibility how people can be that awesome. One thing important I think talked about 'diligent'. Hard work or genius both talked about diligent. Like, it's a verb main key for people who wanna build their existence.
Hard work and diligent of course in straight way. Let's say about genius. Genius won't appeared if they stay silent. If they doesn't speak up or make something phenomenal though effortless. And that 'effortless' can't sustainability when they stopping there. Nonetheless, it would be fertilized with diligence.
In my new adjective, I found about diligent delliger which one in urban dictionary means some one who is hard worker and can multi task. Since past, I wanna standing front and grab that adjective exceed thousand others. Diligent, for me will take you everywhere. Get a life with pretentious air. Adjective that to this day don't want yet to stay in my day.
This, maybe vent of me. And an attempt to remind myself that this adjective can be cultivated to reach. Not just a wished and shouldn't just a wished. Like, if that 'dilligent delliger' still in adjective i wished for, I am not gonna everywhere. And maybe you too.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Semakin terbukanya akses informasi pada era internet ini (alah-alah bahasaku berasa mau bikin latar belakang skripsi) membuat setiap orang bisa mendapatkan apa saja yang dia butuhkan. Serius, like, Google itu mengakomodasi informasi apapun dengan keyword yang sesuai. Asal jangan cari tahu siapa nama nenek moyangmu. Manalah dia tahu kecuali kau cucu Soeharto yang perpustakaan SD juga penuh sama buku tentang dia. Kebiasaan ngelantur, intinya bukan itu. 

Ini entah karena aku semakin tua makannya merasa kebutuhan akan ilmu semakin kuat atau karena emang aku sebodoh itu yang selalu merasa nggak tahu apa-apa atau karena kepalaku yang selalu riuh dan inginnya memikirkan hal yang berfaedah. Ketiganya nggak buruk. Terasa semenjak aku kuliah semester awal kebutuhan untuk men-supply diri dengan sesuatu hal yang baru terus meningkat. Semakin mengkhawatirkan sampai saat ini. Selalu ada di kondisi ‘apa yang sudah kupelajari atau dapat hari ini?’ atau ‘anjir itu orang berasa ngerti segalanya kok aku nggak ngerti apa yang dia omongin ya’ (mostly anak ask.fm which is dia anak politik yang tentu saja aku lemah di ilmu itu tapi terasa cukup tertarik untuk mempelajarinya). Dan jadilah walaupun cuma basic dan effortnya tidak terlalu kuat sampai harus akses jurnal internasional (seperti referensi yang dia gunakan) bahkan cuma akses dari berita-bertia ngehe perpolitikan dalam negeri setidaknya konsepnya dapat. 

Ketidaktahuan itu nikmat juga. 

Bagi yang betulan sadar bahwa mengisi kepala dengan ilmu adalah sebuah keharusan maka mencari ilmu itu adalah kenikmatan yang sensasional. Ketidaktahuan yang nikmat. Apalagi kalau menyadari bahwa diri jauh tertinggal dari orang seusia kita yang melesat jauh di depan misalnya. Seperti halnya aku yang baru saja ketampar bolak-balik rasanya sama orang-orang yang masuk 30 under 30-nya majalah Forbes. Masing-masing bidang sudah digarap dengan gemilang seperti consumer technology, retail and e-commerce, the art, manufacturing and energy, finance and venture capital, enterprise technology, health and skincare serta media, marketing and advertising. Sedangkan aku di sini menyadari bahwa aku jauh, sejauh-jauhnya tertinggal dan lambat, selambat-lambatnya belajar dari mereka semua. Mungkin bukan penghargaanya yang membuat tertampar, tapi bagaimana orang-orang ‘di bawah 30 tahun’ itu begitu well-informed sampai akhirnya membuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Itulah tujuan piramida puncak dari belajar. 

Tapi nggak apa-apa. 

Akan ada saatnya buatku dengan cara yang berbeda. Alhamdulillah aku sudah memulai: menulis. Menulis bagiku adalah salah satu cara untuk memberikan hal yang berguna bagi orang lain. Tidak melulu harus menjejelkan ideologi yang kupunya ke pembaca, justru lebih ke membawa mereka pada berbagai perspektif sampai akhirnya mereka bisa menentukan penyikapan terbaik atas sesuatu yang didapatkannya. Sikap kepoku tentang banyak hal ingin aku bagi juga kepada yang membaca tulisanku. Walaupun masih sangat terbatas ilmunya, tetapi aku coba mengamalkan seperti yang HR Bukhari katakan ‘sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.’ Persyaratan yang mengikutinya adalah ilmunya harus jelas dan pemahaman dari penyampai harus baik. Entah aku sudah memenuhi persyaratan itu atau belum tapi setidaknya dengan menyampaikan suatu hal bisa merangsang siapapun nantinya yang ingin tahu lebih mendalam. 

Kondisiku sendiri saat ini masih ingin tahu begitu banyak hal dari semua bidang keilmuan. Mungkin nggak semua. Minus teknik, kedokteran, akuntansi tidak terlalu menjadi minatku dikarenakan ilmu profesi itu terlalu teknis dan aku sudah jauh tertinggal. Tapi seperti sebelumnya yang aku sampaikan, bahwa bisa tahu konsep saja juga sudah menyenangkan buatku. Mungkin spesifik yang sering menjadi concern-ku adalah hal-hal yang banyak menjadi headline atau kategori berita juga seperti politik, ekonomi, kesehatan (secara general), fashion, teknologi minus otomotif, gaya hidup, travelling dan lain sebagainya. Aku memaksakan diri untuk setidaknya tahu secara general tentang hal yang aku sebut di atas. Beberapa cara yang kulakukan untuk membuat pencarian insight ini menjadi menyenangkan adalah:

1. Membaca berita harian (aku baca Tirto, Kompas, New York Times, Magdalene karena WSJ bahasanya ketinggian buatku)
2. Follow akun-akun penyedia berita di Twitter
3. Follow orang-orang yang concern tentang apa yang menjadi ketertarikanku (ini bisa di semua media sosial yang kita mainkan, bahkan tak jarang ada beberapa orang yang konsisten aku follow di semua akun media sosialnya)
4. Tonton video bermanfaat (aku paling senang tonton TED, Buzzfeed bahkan serandom Allux)
5. Mendengarkan podcast (biasanya kalau menemukan source yang proper, dia sudah lihai membahas berita apa yang sedang ‘in’)
6. Main pinterest (astaga ini sangat amat kesukaan. Bagaimana melihat infografik-infografik itu disajikan dengan visual yang menyenangkan)
7. Main ask.fm/Quora/Medium (ini mengacu ke poin nomor tiga yaitu dengan memanfaatkan tanda bintang untuk setiap akun yang kita anggap apa yang keluar dari jawabannya akan mencerdaskan kita)
8. Main instagram (ini sangat penting untuk melatih visual terutama bagi yang suka fotografi spesifik fashion atau travelling)
9. Membaca blog (entah milik so called influencer atau bukan, selama merasa dia worthy dan good enough untuk diambil ilmunya ya baca saja!)

Cara nomor 1-9 rasanya menyenangkan semua untuk dilakukan. Aku menjaga dan memaksa diri untuk terus konsisten mengakses beberapa poin tersebut. Karena sesungguhnya terlalu banyak yang terjadi setiap harinya di saat kita selalu bilang kalau ilmu kita belum ada setetes air laut. Dan ilmu seluas lautan itu bisa kita dapat atau temukan dengan mudah sekarang. Pertanyaannya adalah selalu dan selalu mau atau tidak. Mungkin kalau kita tidak merasa harus mengetahui banyak hal, setidaknya ahli di bidang yang kita pelajari dengan intens seperti jurusan sekolah atau kuliah pun tak apa.
Dan kembali menerapkan setetes air di lautan itu. Keingintahuan itu bisa ditumbuhkan secara alami atau dipaksa tumbuh. Sampai pada akhirnya kita ingin membuat diri kita ahli di dalamnya atau hanya sekedar tahu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kalau ada yang bilang bergerak adalah bukti bahwa manusia eksis. Maka bagiku pergerakan sel-sel otak yang menciptakan koordinasi yang membawa pada proses berpikir adalah bukti eksistensi manusia. Pergerakan mungkin melawan penuaan. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah sesuatu yang mampu meredam isi di kepala. 

Ada resah tak kasat mata yang meskipun diurai justru akan menambah daftar panjang jam kerja otak. Sinapses dengan porsi yang saling berkejaran. Mungkin masalah juga harus dipetakan dan mulai dibuat kapita selekta untuk mengetahui tema besar permasalahannya yang menghabiskan semua porsi hari-hari dengan daydreaming; atau dengan resah tak berkesudahan. 

Tidak ada yang salah dengan keresahan. Yang salah adalah kapasitas diri yang tak cukup terkelola dengan baik untuk menanggung luapan keriuhan tersebut. Masa-masa menuju 'quarter life crisis' tidak tahu lebih bijak untuk dihadapi sekarang atau tepat pada saat nanti. Bekal, bekal. 

Itu bukan sih yang jelas diperlukan?

Ada manusia-manusia yang melesat maju dan akhirnya keriuhan akan berakhir pada sebuah keputusasaan. Itu adalah senyatanya hal yang harus diantisipasi. Mungkin solusi terbaik yang saat ini terpikirkan ya dengan memetakan keriuhan itu lalu mengurai satu per satu berdasarkan kapabilitas diri untuk menyelesaikan. Lalu, biarkan tangan mengambil alih keriuhan itu untuk dijadikan sebagai sebuah yang termanifestasi dalam tindakan yang berkelanjutan. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tidak ada pagi yang dilewati tanpa resah. Apalagi hari-hari yang setiap harinya membuat kontak langsung dengan media sosial. Pasti ada resah setelahnya. Resah ini dalam artian baik sepertinya. Mungkin sebagai awalan aku akan menceritakan bahwa aku adalah pengguna aktif media sosial. Semua media yang trending, aku hampir menggunakannya walaupun kebanyakan hanya sebagai penikmat dan bukan sebagai konten kreator. 

Dan resah itu, pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya berwujud Ranitya Nurlita, Gita Savitri Devi dan Alamanda Shantika. Ketiga orang yang sangat terasa karismanya karena menjadi orang-orang yang peduli dengan isu sosial di sekitarnya. Dimulai dari Kak Lita, sapaan Kak Ranitya, aku mengenalnya pertama kali saat melakukan sebuah pekerjaan dan beliau menjadi mentor. Saat dijelaskan begitu banyaknya prestasi beliau terutama di bidang lingkungan yang ada di benakku adalah suatu hari nanti aku juga ingin seperti dirinya. Menjadi orang yang sebegitu pedulinya dengan bumi yang dipijaknya. Beliau adalah inisiator #ASEANReusableBagCampaign. Tidak sulit untuk menjadikan Kak Lita sebagai role model karena sifatnya yang humble dan suka berbagi ilmu serta pengalaman. Dan untuk hidupnya yang selalu dinamis dan terlihat selalu ada saja yang dikerjakan aku iri dengan itu. Rasa iri yang ingin aku pertahankan. Terlebih tentang hatinya yang penuh kepedulian itu, aku sangat iri. Senang rasanya pernah memiliki kesempatan berinteraksi dengan beliau. Maaf ya Kak Lita, aku mau izin memilihara rasa iri ini biar setiap harinya tetap termotivasi agar suatu saat nanti bisa seperti kakak. 

Tentang Gita Savitri. Pasti nama yang sudah tidak asing. Dari semua konten Gita sudah pasti yang banyak digemari adalah Youtube dan instagramnya. Untukku, Youtube dan Blognya. Aku suka bagaimana Gita selalu tanpa tendeng aling-aling menyampaikan opini dengan cara yang objektif. Dan yang membuatku kagum adalah tentang bagaimana dia selalu mengajak orang untuk bermanfaat untuk orang di sekitarnya. Peka terhadap isu sosial dan selalu toleransi. Sebenarnya dari yang kulihat sudah banyak anak muda yang memiliki pemikiran sekritis Gita, tapi bedanya masih sangat jarang yang speak up. Banyak anak muda itu hanya eksis di golongannya saja padahal potensinya begitu besar untuk membawa perubahan. Tidak sedikit juga anak Indonesia yang kuliah di luar negeri dan punya keresahan yang sama dengan Gita, tapi mereka tidak memvisualkan apa yang ada di kepala mereka seperti yang Gita lakukan. 

Baru beberapa hari yang lalu aku tahu tentang Alamanda Shantika, tapi lupa dari mana awalnya. Alamanda bagiku juga adalah seseorang yang hebat dengan idealisme yang kuat. Bukan hanya karena dia mampu membawa sebuah start-up terbesar di Indonesia menjadi sangat maju tetapi adalah bagaimana dia memanfaatkan momen dengan kejayaan itu untuk membuat dampak yang lebih besar. Kibar. Adalah organisasi nirlaba yang fokus untuk membatu pengembangan startup digital di Indonesia dan saat ini sedang fokus dalam Gerakan 1000 Start-up Digital. Masih teringat jelas dalam speech-nya di Kibar bahwa saat ini driver Go-Jek dimana Alamanda sebelumnya menjadi VP-nya sebanyak 250ribu orang. Dan sebanyak orang itu adalah tulang punggung keluarga. Secara tidak langsung bahwa dengan adanya Go-Jek, Alamamda bisa memberi makan begitu banyak orang di Indonesia. Begitulah yang dia tanamkan dalam dirinya bahwa kalau ada 1000 start-up, bukan tidak mungkin 255 juta penduduk Indonesia akan terpenuhi kebutuhannya. Itulah yang akhirnya membawa Alamanda untuk meninggalkan Go-Jek dan beralik ke Kibar. Tentang menjadi peduli untuk orang lain. 

Resah ini semakin membanjiri diri. Berpikir dengan cara apa bisa berguna bagi orang lain. Berpikir bagaimana caranya bisa menjadi salah satu sosok perempuan terutama pemuda Indonesia agar memberikan dampak positif bagi sekitar. Kebanjiran yang menyenangkan. Kebanjiran resah.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sebagai seorang penulis, sebenarnya aku tidak terlalu paham mengenai bagaimana kondisi minat baca di Indonesia. Mungkin kalau merujuk pada sepinya perpustakaan, hasil-hasil riset yang akhirnya menjadi bungkus gorengan, diktat mata pelajaran yang tidak pernah dibuka. Karena mungkin kondisi di sekitarku sebenarnya masih efektif karena masih ada saja yang membaca dengan intens. Well, walaupun itu sebenarnya juga tuntutan pekerjaan. Tapi asumsi awam juga bakal nunjukin itu sih dengan melihat betapa sepinya perpustakaan. Toko buku untungnya masih ramai. Entah kenapa rasanya segitu susahnya menumbuhkan rasa cinta akan ilmu pengetahuan. Padahal kalau mereka rajin baca kan secuil pun nggak ada ruginya. Malah keuntungannya bisa berkelanjutan untuk dirinya sendiri terlebih untuk orang lain kedepannya. Karena ilmu juga nggak akan pernah habis. 

Cerita dipersingkat dengan adanya diversifikasi produk untuk mengakses ilmu pengetahuan. Sampai sekarang masih banyak sih penggalangan buku untuk berbagai perpustakaan di daerah-daerah. Itu adalah sesuatu yang sangat positif dan sangat perlu membuka akses semua orang akan ilmu pengetahuan atau pendidikan. Aku nggak ngerti ya hitung-hitungan secara sistematis, tapi di kepalaku muncul pop up bahwa seharusnya akses itu dibarengi dengan akses teknologi. 

Kenapa teknologi begitu penting? Ya sekarang jamannya internet. Dan dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sudah berubah sangat drastis. Apa ada jaminan bahwa buku yang didistribusikan ke daerah-daerah itu masih relevan? Bukannya mau bilang bahwa ilmu itu akan sia-sia, bukan. Tapi perlu ilmu yang mutakhir dan terkini juga karena yang akan dihadapi oleh banyak orang adalah masa mendatang, bukan masa lalu. 

Dengan teknologi, akses ilmu pengetahuan akan langsung bisa dikonfirmasi apakah masih relevan atau tidak. Contoh dari akses terhadap ilmu pengetahuan adalah adanya perpustaan digital. Kalau tidak salah di Indonesia diinisiasi oleh Pemerintah Jakarta dengan mengeluarkan aplikasi bernama iJakarta. Di iJakarta terdapat begitu banyak buku dari berbagai katagori seperti Sejarah, Agama, Filsafat, Fiksi, BSE dsb dan semuanya gratis. Hal tersebut adalah transformasi yang sangat positif bagi dunia pendidikan. Tapi sayangnya gaung iJakarta ini masih belum terdengar secara luas. Selain itu secara teknis juga masih perlu banyak pembenahan. iJakarta ini secara positif juga memberikan apresiasi kepada penulis dengan cara memberikan ruang kepada penerbit-penerbit untuk memberikan akses ebook-nya di Jakarta yang mana orang lain juga dapat mendonasikan untuk setiap buku yang ada di sana. Sehingga bisa menjadi bagian dari royalti untuk penulis. Secara detailnya mengenai iJakarta aku juga kurang paham. Tapi yang jelas bahwa iJakarta mestinya dibawa ke ranah yang lebih luas dengan akses yang tidak terbatas.

Selain tentang iJakarta, yang ingin kutulis di sini adalah tentang Audiobook. Audiobook adalah rekaman dari isi buku yang dapat diakses melalui perangkat audio. Sudah lumayan lama aku mendengarkan audiobook dari berbagai cerita. Yang terkenal dan sering didengar adalah Kindle dari Amazon. Tapi tentu saja itu berbayar. Kabar baiknya, ada audiobook yang bisa diakses secara gratis. Namanya adalah LibriVox. Librivox adalah free public domain audiobook. Di dalamnya banyak sekali audiobook dari buku akademik, biografim sejarah, filosofi maupun cerita fiksi yang terkenal dari William Shakespeare, James Joice, Helen Keller, Kate Chopin, Eleanor Gates dan masih banyak lagi. Dan semuanya bisa diunduh secara gratis. Audiobook di Librivox direkam oleh para volunter dan dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sangat amat super keren! 

Tentang audiobook ini, aku sangat berharap bahwa Indonesia mulai berpikir sevisioner ini untuk menambah akses terhadap ilmu pengetahuan semakin mudah. Dan semuanya bisa dimulai dengan mempersiapkan teknologi yang layak. Karena tidak ada yang lupa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dari negara.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagi seorang introvert menemukan zona nyaman tidak lah sulit. Yang sulit adalah beranjak di saat zona nyaman itu semakin menenggelamkan dalam paradigma ‘kesendirian’ seorang introvert. Karena seharusnya zona nyaman itu bukan tempat persembunyian tetapi tempat peristirahatan. Istirahat selalu berasosiasi dengan pemulihan energi. Persembunyian berkorelasi dengan kepengecutan dari hal yang tidak berani dihadapi.

Sebagai seorang INFP, aku juga merasakan zona nyaman itu terlalu sulit untuk disingkirkan dan hanya menjadi peranjakan sementara. Bukan yang mempunyai tali kekang sampai akhirnya tidak kemana-mana. Aku tidak tahu bagiku zona nyaman itu kamar, sendiri atau tidak melakukan apa-apa. Semuanya sama mengkhawatirkannya. Kalau diminta untuk memilih aku ingin memilih sendiri di tempat yang jauh. Karena dengan berjalan setidaknya indera yang dimiliki akan berfungsi.

Jadi apakah zona nyaman bisa diubah tanpa perlu pemaksaan yang berlebihan karena tujuannya bukan ingin keluar dari zona nyaman tetapi berganti zona nyaman?

Berandai-andai memiliki tempat atau rutinitas yang tepat guna dan dijadikan zona nyaman versi utopisku adalah sesederhana berjalan. Sendirian. Memproses segala sesuatu yang tidak berjalan baik di hari kemarin dan merenungkan segalanya. Mencurahkan waktu sepenuhnya untuk diri sendiri. Karena kalau hal semasif kepribadian saja fluid, bagaimana dengan isi kepala? Yang berisi neuron yang sedia menghantarkan rangsang dari semua hal yang dirasa, dilihat, diraba, dikecap, didengar.
Satu hal lainnya yang kuidamkan dan ingin dijadikan candu dan kusebut sebagai zona nyaman adalah menulis. Berkolaborasi dengan pergi dibersamai oleh memikirkan apa perlu dipikirkan, sekembalinya aku ingin menuliskan. Apapun. Dan untuk satu hal ini, aku tidak akan pernah bosan untuk mendobrak zona nyaman. Kalau itu sudah jadi zona nyaman.

Sampai sekarang kasur dan tidur masih terlalu sulit untuk dienyahkan. Atau kesendirian itu sendiri yang pada kenyataannya telah mengalami pemaknaan yang keliru karena terlalu sering dilakukan berulang-ulang?

Nyatanya seorang INFP yang ingin punya persona Ekstrovert ini susah sekali untuk sekedar menciptakan humor untuk hidupnya sendiri. Konsistensi yang tidak konstruktif.
Zona nyaman, inginku pergi dan menulis, lalu konsisten dan berhasil menyembuhkan atau melahirkan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Millenials, entah dalam konotasi yang negatif atau positif tapi memiliki jalur kehidupan yang memang unik. Ada yang hidup untuk mencari eksistensi dan pengakuan dan ada yang hidup untuk egois saja, memikirkan celah sekecil mungkin untuk bisa memberi egonya makan tanpa harus nampak di permukaan.

Ada satu pola yang terlihat bagi ‘sesungguhnya’ mayoritas millenials (yang kuikuti) bahwa tidak ada ketertarikan membagi lebih apa yang seharusnya bisa bermanfaat. Seolah membagi yang berbeda akan menghadirkan cibiran orang. Lalu mereka yang sebetulnya luar biasa bersinar justru tidak pernah repot menampakkan betapa pribadinya sungguh cerdas dari pikir dan polahnya. Hanya ada sesembahan artifisial yang berlomba-lomba diperlihatkan.

Justru yang menghadirkan hal yang bermanfaat bukan dari orang yang benar kita butuhkan ilmunya. Terkadang yang menunjukkan sesuatu yang bermanfaat adalah orang yang menurut pandangan kita berada jauh di atas level kita. Sampai perlu mendongak untuk coba mengkhayalkan atau mengangankan ada di posisi itu. Dan permasalahan yang terjadi selanjutnya adalah orang-orang pada level tertentu ini mencoba mengimitasi sesuatu yang tidak menjadi kesehariannya tetapi yang mereka lupa itu adalah pekerjaan orang yang berada di level atas. Tanpa sadar setiap hari yang dilakulan oleh manusia-manusia ini adalah mendongak.

Di saat mulai lelah dengan manusia artifisial ini dan mendongak sudah menjadi keahlian, kemudian ada bertubi-tubi sebentuk manusia lain yang datang dalam sosok yang begitu nyata. Terasa dekat dan realistis dengan kehidupan kita. Tetapi dengan perbedaan nasib yang sungguh sangat berbeda di saat akses yang dimiliki sebenarnya sama. Manusia-manusia yang penuh pengakuan ini kemudian menjadi satu komunitas yang masif dan membuat sebagian orang lainnya (yang sama atau merasa sama visinya) akan terus-terusan mendongak.

Membiasakan diri melihat sesuatu yang nampak luar biasa di mata kita akan berbahaya saat kita mulai resisten dan merasa itu hal yang biasa, di saat sebenarnya kita dari awal mendongak sampai merasa biasa saja itu tetap tidak melakukan apa-apa. Kita bisa saja mengelompokkan orang-orang yang begitu sureal sampai ke kelompok orang yang seolah masih bisa kita samai walaupun kondisinya jauh di atas kita. Asal kita tetap konsisten mendongak. Lalu mengikuti apa-apa hal paling masuk akal yang bisa kita ikuti. Kelompok yang begitu sureal biarkan tetap menjadi inspirasi, karena tidak pernah dipungkiri bahwa mereka adalah chandelier yang membuat ruang gerak kita menjadi terang dan nampak indah.

Kalau kita tidak hanya terpana dengan chandelier itu dan tetap berjalan menuju ruang temaram yang indah dan hangat, mendongak tidak apa-apa. Nyatanya memang chandelier itu yang membuat mudah semuanya. Atau harus dikatakan trigger karena setidaknya dia yang merasa bahwa kita pantas berada di satu ruangan dengan dekorasi yang indah.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

Nauraini

Foto saya
Nauraini
Confirmed INFP's
Lihat profil lengkapku

about Nauraini

Hola! Welcome to Nauraini's blog (or rant platform). Nau is an INFP who obsessed with art, minimalism and writing. You can discussed with Nau about :
communication, movie, music and writing.
At this time, Nau already published her first novel Jarak Antarbintang (2018, Elex Media Komputindo). You can connect with Nau through her Wattpad, Twitter, Instagram. Nau very fond of friends, so :)

Nau's Instagram

@nauraini

Get in touch with Nauraini

  • LinkedIn
  • Spotify
  • Goodreads
  • twitter
  • instagram
  • youtube

Categories

  • Book
  • Human
  • INFP
  • Indonesia
  • Podcast
  • Reading
  • Self Reflection
  • Writing

Blog Archive

  • Desember 2020 (1)
  • Maret 2020 (1)
  • Desember 2019 (1)
  • November 2019 (2)
  • Oktober 2018 (1)
  • Juni 2018 (9)

Nau's On Going Story

Nau's bookshelf: read

Parijs van Java: Darah, Keringat, Air mata
really liked it
Parijs van Java: Darah, Keringat, Air mata
by Remy Sylado
Pride and Prejudice
liked it
Pride and Prejudice
by Jane Austen
The Nose
it was amazing
The Nose
by Nikolai Gogol
A Portrait of the Artist as a Young Man
it was amazing
A Portrait of the Artist as a Young Man
by James Joyce
Ulysses
it was amazing
Ulysses
by James Joyce

goodreads.com

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates